Kamis, 15 Maret 2012

PENGETAHUAN DAN HAL YANG MEMPENGARUHINYA

Pendidikan sangat berpengaruh pada pengetahuan seseorang semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula pengetahuannya. Menurut Suhardi (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang salah satunya adalah pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka makin mudah orang tersebut menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang didapatnya.
Menurut Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang berpendidikan menengah dan rendah. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam menentukan kualitas manusia, dengan pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan dan informasi, dan semakin tinggi pendidikan seseorang semakin berkualitas hidupnya.
Menurut Suryanto (2007), informasi adalah salah satu organ pembentuk pengetahuan dan memegang peranan besar dalam membangun pengetahuan. Semakin banyak seseorang memperoleh informasi, maka semakin baik pula pengetahuannya, sebaliknya semakin kurang informasi yang diperoleh, maka semakin kurang pengetahuannya.
Menurut Mc. Quail (2000), mengatakan bahwa media massa merupakan wahana bagi banyak isu dalam masyarakat dan hadir dalam berbagai bentuk dan memiliki peran penting dalam menyebarkan beragam informasi dan pendapat sehingga menjadi elemen dan menempati posisi penting dalam masyarakat dan memiliki potensi untuk dikembangkan untuk kepentingan tertentu.
Sedangkan menurut Mc. Luhan (2000), media massa adalah suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, melalui media cetak dan media elektronik sehingga informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Hal ini didukung oleh Siregar (2007) yang mengatakan bahwa pengetahuan seseorang bukan hanya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, karena pengetahuan tidak hanya didapat dari bangku sekolah, namun pengetahuan lebih banyak diperoleh dari pengalaman hidup.
Sondang (2005) mengatakan bahwa orang yang berpendidikan lebih tinggi punya kesempatan yang luas untuk terpapar berbagai informasi dan akan menjadi lebih berpengetahuan baik dibandingkan dengan mereka yang tidak berpendidikan tinggi. Dan Notoatmodjo (2003) berpendapat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula intelektualnya.
Pengetahuan yang dimiliki seseorang dapat dipengaruhi seberapa banyak informasi yang diperolehnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengetahuan juga dapat dipengaruhi oleh kecepatan seseorang dalam menerima informasi yang diperoleh, sehingga semakin banyak seseorang memperoleh informasi, maka semakin baiklah pengetahuannya, sebaliknya semakin kurang informasi yang diperoleh, maka semakin kurang pengetahuannya. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui media massa dan elektronik serta tenaga kesehatan dan penyuluhan-penyuluhan kesehatan (Notoatmodjo, 2003).
Pendapat ini diperkuat oleh Modlor (1998), “Hubungan informasi dengan pengetahuan” yang dikutip Notoatmodjo (2003), mengatakan bahwa pengetahuan juga terbentuk dari pengalaman informasi-informasi yang didapat di pendidikan non formal seperti membaca buku, koran, majalah, serta televisi. Jadi pengetahuan dapat dipengaruhi oleh pengakuan dan informasi.
Luhan (2009), mengatakan bahwa media massa adalah suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah masyarakat melalui media cetak dan media elektronik sehingga peran informasi yang sama dapat diterima secara serentak. Pendapat ini didukung oleh Achmad (2004), mengatakan  untuk dapat memperoleh pengetahuan, kita dapat memperoleh informasi tersebut dari berbagai sumber, terutama dari media massa, misalnya TV, radio, surat kabar, majalah, komputer bahkan dari internet.





Daftar Pustaka

Siregar. (2007). Pengaruh Pendidikan Terhadap Pengetahuan. Diperoleh tanggal 16 Maret 2012 dari http://www.google.com
Sondang, O. (2005). Pengembangan Sumber Data Insani. Diperoleh tanggal 26 Februari 2012 dari http://www.google.com
Notoatmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cetakan Kedua Jakarta: Rineka Cipta
Suryanto. (2007). Informasi dan Pengetahuan. Diperoleh tanggal 18 Maret 2012 dari http://www.suryanto.blogspot.co.id/html
Achmad, A. (2004). Pemanfaatan Media Massa Sebagai Sumber Pembelajaran. Diperoleh tanggal 4 Maret 2012 dari http://www.google.com
Mc. Luhan. (2009). Informasi sebagai Sumber Informasi. Diperoleh pada tanggal 13 Maret 2012 dari http:// www. kompas.com.

Mc. Quail (2000 ). Informasi. Diperoleh pada tanggal 13 Maret 2012 dari http:// www. kompas.com.

sdfgfdshgdfs

fdzsgdsfgsdf

Jurnal Kesehatan

TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG MANFAAT MINYAK KELAPA DI KELURAHAN BENTENG KECAMATAN  CAMPAKA PURWAKARTA

Boedianto, Desember 2008
STIKes A. Yani Cimahi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat di Kelurahan Benteng Kecamatan Campaka  tentang manfaat Minyak Kelapa dari  63 responden yang dikategorikan baik sebanyak 16 orang (25,40), cukup 21 orang (33,33%), dan kurang sebanyak 26 orang (41,27%) yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : umur, pendidikan dan informasi.
Menurut Saksono (2006), bahwa umur mempengaruhi pengetahuan seseorang karena semakin muda seseorang semakin rendah pengetahuannya dan pengalaman yang dimilikinya dan sebaliknya semakin lanjut umur seseorang semakin tinggi pengetahuannya dan pengalaman yang dimilikinya. Tetapi bila semua itu didukung oleh faktor pendidikan yang tinggi.
Pendidikan sangat berpengaruh pada pengetahuan sesorang semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula pengetahuannya. Pendidikan sangat penting dalam pekerjaan serta dalam pengambilan keputusan. Menurut Suhardi (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang salah satunya adalah pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka makin mudah orang tersebut menerima informasi sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang didapatnya.
Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa seseorang yang berpendidikan tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang berpendidikan rendah. Hal ini diperkuat juga oleh Hurlock (2007) yang mengatakan bahwa pendidikan mempunyai peranan penting dalam menentukan kualitas manusia, dengan pendidikan manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan dan informasi, dan semakin tinggi pendidikan seseorang semakin berkualitas hidupnya.
Menurut Suryanto (2007), informasi adalah salah satu organ pembentuk pengetahuan dan memegang peranan besar dalam membangun pengetahuan. Semakin banyak seseorang memperoleh informasi, maka semakin baik pula pengetahuannya, sebaliknya semakin kurang informasi yang diperoleh, maka semakin kurang pengetahuannya.
Menurut Mc. Quail (2000), mengatakan bahwa media massa merupakan wahana bagi banyak isu dalam masyarakat dan hadir dalam berbagai bentuk dan memiliki peran penting dalam menyebarkan beragam informasi dan pendapat sehingga menjadi elemen dan menempati posisi penting dalam masyarakat dan memiliki potensi untuk dikembangkan untuk kepentingan tertentu. Sedangkan menurut Mc. Luhan (2000), media massa adalah suatu jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, melalui media cetak dan media elektronik sehingga informasi yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.


Referensi :
Saksono, (2008). Manajemen Pengetahuan. Yogyakarta: Fitramaya
Suhardi (2007). Konsep Pengetahuan. Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta
Hurlock (2007). Pendidikan dan Pengetahuan . Edisi IV. Yogyakarta: Remaja Rosdakarya
Suryanto, R. (2007). Pengetahuan Implisit dan Explisit. Bandung: Tiga Serangkai
Mc. Quail (2000). Media Massa. Edisi V. Jakarta: Cipta Karya

Minggu, 11 Maret 2012

Bronkiektasis

oleh : dr. Rahmatullah, Sp.PD, November 2011

Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat. Kelainan fungsi paru yang terjadi pada pasien bronkiektasis sangat bervariasi dan tingkatan beratnya tergantung pada luasnya kerusakan parenkim paru dan seberapa jauh beratnya komplikasi yang telah terjadi. Diagnosis bronkiektasis kadang-kadang sukar ditegakkan walaupun sudah dilakukan pemeriksaan lengkap. Diagnosis penyakit ini kadang-kadang mudah diduga, yaitu hanya dengan anamnesis saja. Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi lanjut.
Indonesia merupakan negara berkembang dimana bronkiektasis mengalami peningkatan. Prevalensi bronkiektasis lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosioekonomi yang rendah.  Bronkiektasis umumnya terjadi pada penderita dengan umur rata-rata 39 tahun, terbanyak pada usia 60-80 tahun. Sebab kematian yang terbanyak pada bronkiektasis adalah karena gagal napas.  Lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dan yang bukan perokok
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis) bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terkena
Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat.
a.       Kelainan kongenital
Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus memegang peran penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital ini mempunyai ciri sebagai berikut, pertama, bronkiektasis mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua paru. Kedua, bronkiektasis kongenital sering menyertai penyakit-penyakit kongenital lainnya, misalnya: mukoviskidosis (cystic pulmonary fibrosis), sindrom kartagener (bronkiektasis kongenital, sinusitis paranasal dan situs inversus), hipo atau agamaglobulinemia, bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak yang satu dengan bronkiektasis, ternyata saudara kembarnya juga menderita bronkiektasis), bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan kongenital berikut: tidak adanya tulang rawan bronkus, penyakit jantung bawaan, kifoskoliosis kongenital.
b.      Bronkiektasis Didapat
Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan merupakan akibat proses berikut:
·         Infeksi
Bronkiektasis sering terjadi sesudah seseorang anak menderita pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama. Pneumonia ini umumnya merupakan komplikasi pertusis maupun influenza yang diderita semasa anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya.
·         Obstruksi bronkus
Obstruksi bronkus yang dimaksudkan disini dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab: korpus alineum, karsinoma bronkus atau tekanan dari luar lainnya terhadap bronkus.Menurut penelitian para ahli diketahui bahwa adanya infeksi ataupun obstruksi bronkus tidak selalu secara nyata menimbulkan bronkiektasis. Oleh karenanya diduga mungkin masih ada faktor intrinsik ikut berperan terhadap timbulnya bronkiektasis.
Patologi
Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.
a.       Tempat predisposisi bronkiektasis
Dapat mengenai bronkus pada satu segmen paru, bahkan dapat secara difus mengenai kedua paru. Bagian paru yang sering terkena dan merupakan tempat predisposisi bronkiektasis adalah lobus tengah paru kanan, bagian lingual paru kiri lobus atas, segmen basal pada lobus bawah kedua paru.
b.      Bronkus yang terkena
Umumnya adalah bronkus ukuran sedang, sedangkan bronkus yang besar jarang terkena. Bronkus yang terkena dapat hanya pada satu segmen paru saja maupun difus.
c.       Perubahan morfologi bronkus yang terkena
·         Dinding bronkus
Dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan ireversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen elastis.
·         Mukosa bronkus
Permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi dan pernanahan.
·         Jaringan paru peribronkial
Dapat ditemukan kelainan antara lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat, jaringan paru distal bronkiektasis akan diganti oleh jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi nanah.
d.      Variasi kelainan anatomis bronkiektasis
Telah dikenal ada 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis, yaitu:
·         Bentuk tabung (tubular, cilindrical, fusiform bronchiectasis).
Merupakan bronkiektasis yang paling ingan. Bentuk ini sering ditemukan pada bronkiektasis yang menyertai bronkitis kronis.
·         Bentuk kantong (saccular bronchiectasis).
Merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat ireguler, Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista (cystic bronkiektasis).
·         Varicose bronchiectasis
Merupakan bentuk antara bentuk tabung dan kantong. Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus menyerupai varises pembuluh vena.
Adanya variasi bentuk-bentuk anatomis bronkus tadi secara klinis tidak begitu penting, karena kelainan-kelainan yang berbeda tadi dapat berasal dari etiologi yang sama dan tidak mempengaruhi gejala klinis dan manajemen pengobatannya sama saja. Bahkan beberapa bentuk kelainan tadi bisa terdapat pada satu pasien.

e.       Pseudobronkiektasis
Bentuk ini tidak termasuk bronkiektasis yang sebenarnya. Pada bentuk ini terdapat pelebaran bronkus yang bersifat sementara dan bentuknya silindris. Kelainan ini bersifat sementara karena dalam beberapa bulan akan menghilang. Bentuk ini biasanya merupakan komplikasi pneumonia.

Patogenesis
Tergantung penyebabnya. Apabila bronkiektasis timbul kongenital, patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat hubungannya dengan genetik serta faktor pertumbuhan dan perkembangan fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya diduga melalui beberapa mekanisme. Ada beberapa faktor yang diduga ikut berperan, antara lain: (1) obstruksi bronkus, (2) infeksi pada bronkus atau paru, (3) adanya beberapa penyakit tertentu seperti fibrosis paru, asthmatic pulmonary eosinophilia dan (4) faktor intrinsik dalam bronkus atau paru.
Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang didapat, diduga melalui dua mekanisme dasar.
Permulaannya didahului adanya infeksi bakterial. Mula-mula karena adanya infeksi pada bronkus atau paru, kemudian timbul bronkiektasis. Mekanisme kejadiannya sangat rumit. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa infeksi pada bronkus atau paru, akan diikuti proses destruksi dinding bronkus daerah infeksi dan kemudian timbul bronkiektasis.
Permulaannya didahului adanya obstruksi bronkus. Adanya obstruksi bronkus oleh beberapa penyebab (misalnya tuberkulosis kelenjar limfe pada anak, karsinoma bronkus, korpus alineum dalam bronkus) akan diikuti terbentuknya bronkiektasis. Pada bagian distal obstruksi biasanya akan terjadi infeksi dan destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis.
Pada bronkiektasis didapat, pada keadaan yang amat jarang, dapat terjadi atau timbul sesudah masuknya bahan kimia korosif (biasanya bahan hidrokarbon) ke dalam saluran nafas dan karena terjadinya aspirasi berulang bahan/cairan lambung ke dalam paru.
Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit paru yang mengenai bronkus dan sifatnya kronik. Keluhan-keluhan yang timbul berlangsung kronik dan menetap. Keluhan-keluhan yang timbul berhubungan erat dengan: (1) luas atau banyaknya bronkus yang terkena, (2) tingkatan beratnya penyakit, (3) lokasi bronkus yang terkena dan (4) ada atau tidak adanya komplikasi lanjut.Pada bronkiektasis, keluhan-keluhan timbul umumnya sebagai akibat adanya beberapa hal berikut: (1) adanya kerusakan dinding bronkus, (2) adanya kerusakan fungsi bronkus dan (3) adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya. Kerusakan dinding bronkus dapat berupa dilatasi dinding bronkus, kerusakan elemen elastis dan otot-otot polos bronkus, kerusakan mukosa dan silia. Kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum, gangguan ekspektorasi, gangguan reflek batuk dan sesak nafas.
Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogenesis bronkiektasis, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Infeksi pertama (primer)
Kecuali pada bentuk bronkiektasis kongenital, tiap bronkiektasis kejadiannya didahului infeksi bronkus (bronchitis) maupun jaringan paru (pneumonia). Masih menjadi pertanyaan, apakah infeksi yang mendahului terjadinya bronkiektasis tersebut disebabkan oleh bakteri atau virus. Menurut hasil penelitian para ahli terdahulu ditemukan bahwa infeksi yang mendahului bronkiektasis adalah infeksi bakterial, yaitu mikroorganisme penyebab pneumonia atau bronkitis yang mendahuluinya. Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding bronkus sehingga terjadi bronkiektasis, sedangkan infeksi virus tidak dapat. Boleh jadi bahwa pneumonia atau bronkitis yang mendahului bronkiektasis tadi didahului oleh infeksi virus (misalnya adenovirus tipe 21, virus influenza, campak dan sebagainya).
2)      Infeksi sekunder
Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai infeksi sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis). Secara praktis apabila sputum pasien bronkiektasis bersifat mukoid dan putih jernih, menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder. Sebaliknya apabila sputum pasien yang semula berwarna putih jernih kemudian berubah warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis kumannya bisa dilakukan pemeriksaan mikrobiologis. Sputum berbau busuk menandakan adanya infeksi sekunder oleh kuman anaerob. Contoh kuman anaerob ini: Fusiformis fusiformis, treponema vincenti, anaerobic streptococci, dan sebagainya. Kuman-kuman aerob yang sering ditemukan dan menginfeksi bronkiektasis misalnya: Streptokokus pneumonia, hemopilis influenza, klebsiela ozeona, dan sebagainya.
Sesudah seseorang menderita bronkiektasis, perjalanan klinis penyakit selanjutnya tergantung pada luasnya penyakit, efektivitas drainase sputum dan efektivitas pengobatan infeksi. Kalau penyakitnya luas atau pengobatannya tidak memuaskan, dapat timbul beberapa komplikasi lanjut yang tidak menyenangkan. Apabila penyakit ini berlanjut terus, keadaan umum pasien dapat menjadi sangat menurun. Sebagai akibat daya tahan tubuh yang menurun mudah timbul infeksi berulang, nafsu makan berkurang menimbulkan malnutrisi dan sebagainya. Dalam keadaan yang sangat jarang, pada pasien dapat timbul perubahan degeneratif yaitu terjadi amiloidosis.

Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi lanjut. Ciri khas penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan.Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan memberikan gejala:
1.      Batuk
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung kronik dan frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik, jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun. Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob akan menimbulkan sputum sangat berbau busuk.
Pada kasus yang ringan, pasien dapat tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus yang sudah berat, misalnya pada sakular type brokiektasis, sputum jumlahnya banyak sekali, purulen dan apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah jadi tiga lapisan: (a) Lapisan teratas agak keruh terdiri atas mukus, (b) Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva dan (c) Lapisan terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak.
2.      Hemoptisis
Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Keluhan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah dan timbul perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling ringan sampai perdarahan yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis (darah berasal dari peredaran darah sistemik).
Pada bronkiektasis kering, hemoptisis justru merupakan gejala satu-satunya, karena jenis ini letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk dan kurang menimbulkan reflek batuk. Pasien tanpa batuk atau batuknya minimal. Dapat diambil pelajaran, bahwa apabila kita menemukan kasus hemoptisis hebat tanpa adanya gejala-gejala batuk sebelumnya atau tanpa kelainan fisis yang jelas hendaknya diingat dry bronciektasis ini. Hemoptisis pada bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal.