Senin, 28 November 2011

Prevalensi Bronkientasis/Bronkiektasis

 Oleh : dr. Muhammad Rahajoe, Agustus 2008
Keadaan masa depan masyarakat Indonesia yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan adalah masyarakat, bangsa dan negara yang ditandai sehat, baik jasmani, rohani maupun sosial dan memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Kemenkes RI, 2009).
Dampak pembangunan disegala bidang, tidak hanya dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, tetapi juga dapat merugikan masyarakat. Hal yang dapat merugikan antara lain yaitu adanya polusi udara yang  dapat mempengaruhi derajat kesehatan. Gangguan kesehatan akibat polusi udara diantaranya adalah gangguan pada saluran pernapasan yaitu bronkiektasis.
Riwayat bronkiektasis pertama kali dikemukakan oleh Rene Theophile  Hyacinthe Laennec pada tahun 1819 pada pasien dengan flegmon supuratif. Tahun 1922, Jean Athanase Sicard dapat menjelaskan perubahan destruktif saluran respiratorik pada gambaran radiologis melalui penemuannya, yaitu bronkografi dengan kontras. Dengan pemberian imunisasi terhadap pertusis, campak, dan juga regiman pengobatan penyakit Tuberkulosis (TB) yang lebih baik, maka diduga prevalens penyakit ini semakin rendah. Hal ini dikarenakan penyakit TB dan pertussis merupakan salah satu penyebab bronkiektasis.
Frekuensi bronkiektasis pada tahun 2010 dilaporkan lebih tinggi di negara berkembang yang banyak melaporkan kejadian penyakit campak, TB, dan infeksi HIV. Di Negara maju, kejadian penyakit ini berkaitan dengan fibrosis kistik, cilliary dyskinesia, atau defisiensi imun. Meskipun di negara  maju insidensnya dilaporkan mengalami penurunan, tetapi akhir-akhir ini diperkirakan meningkat sejalan dengan penggunaan metode pemeriksaan yang semakin sensitif. Hasil penelitian di Australia menunjukkan bahwa angka kejadian bronkiektasis yang dikonfirmasi dengan HRTCT pada anak berusia di bawah 15 tahun adalah 147 per 10.000 anak suku Aborigin. Suatu survei nasional yang dilakukan oleh dokter anak di New Zealand menyatakan bahwa insidens bronkiektasis nonkistik fibrosis pada populasi ini 3,7 per 100.000 dengan prevalens 1 per 3000 orang. Data dari Inggris memperlihatkan prevalens 1 setiap 5.800 anak. 
Di negeri-negeri Barat pada tahun 2010, kekerapan bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3%  di antara populasi. Kekerapan setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang  berarti sesudah dapat ditekannya frekuensi kasus-kasus infeksi paru dengan pengobatan memakai antibiotik. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai penyakit ini. Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinik-klinik dan diderita oleh laki-laki maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai sejak anak, bahkan dapat merupakan kelainan kongenital.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar